top of page

Mengenal Afian Influenza Si Pembunuh Massal

“Lagi kurang sehat ya, Pak?” sapa seorang sekretaris ketika melihat pimpinannya sedikit pucat.


“Iya nih, agak flu dikit. Materi rapat hari ini sudah disiapkan?” jawab sang pimpinan.


Dialog seperti itu sering kali kita dengar. Mungkin beda situasi, tapi intinya sama saja: orang Indonesia menganggap remeh influenza atau biasa disebut flu saja. Penyebabnya karena flu dianggap penyakit yang tidak berbahaya, diberi “obat warung” dan istirahat sebentar juga sembuh.


Influenza adalah penyakit pada saluran pernafasan yang disebabkan virus. Di negara tropis seperti Indonesia, virus penyebab influenza hidup makmur dan memiliki lima varian, salah satunya H3N2 yang acap menyerang pada masa pergantian musim sehingga influenza yang ditimbulkannya disebut flu musiman. Flu memang kerap menyambangi, terutama ketika kondisi tubuh seseorang sedang merosot atau saat kondisi lingkungan membuat virus flu lebih agresif seperti pada musim pancaroba.


Flu terjadi ketika virus menyerang sel-sel tertentu pada saluran pernafasan. Saat serangan terjadi, timbul gejala-gejala seperti demam, batuk-batuk, dan beringus. Pada dasarnya, virus (termasuk virus flu) tidak bisa dimatikan dengan obat. Ia akan mati sendiri ketika kekebalan tubuh penderita membaik, atau sebaliknya ketika sang virus melemah dan tidak mampu berkembang biak. Pengobatan diberikan hanya untuk meredakan simptom (gejala) yang ditimbulkan agar penderita tidak mengalami gangguan lebih besar sehingga mampu meningkatkan sistem kekebalan.

Biasanya flu tidak berlangsung lama dan gejala yang ditimbulkannya tidak mengakibatkan gangguan berarti. Setelah diberi obat pereda gejala flu, penderita bisa kembali beraktivitas seperti si pimpinan di sebuah perusahaan tadi. Itu sebabnya flu sering diremehkan.


Afian Infuenza, Sang Pembunuh Massal

Virus flu tidak cuma bisa menyerang manusia. Binatang juga kerap terserang flu. Beda yang diserang, beda pula varian virus dan akibat yang ditimbulkannya. Yang paling ganas adalah virus flu varian H5N1 yang kerap menyerang unggas (afian). Virus ini mampu menyebar secara luas (pandemik) dan bisa menyebabkan kematian dalam waktu singkat. Inilah virus jahat penyebab Afian Influenza (AI) alias Flu Burung. Ketika menginfeksi sel inang, H5N1 akan memperbanyak diri sehingga sel inang penuh material genetik virus lalu meledak. Virus pun mencari sel inang baru yang belum terinfeksi. Jika tidak segera menemukan inang baru virus akan mati.


Wabah flu burung telah menyerang banyak negara, menimbulkan kerugian sangat besar karena hancurnya peternakan unggas dalam waktu singkat. Maklum, penelitian dan fakta di lapangan menunjukkan penanggulangan paling efektif terhadap flu burung adalah memusnahkan wahana hidupnya dalam jangka waktu tertentu (eradikasi) agar H5N1 tidak bisa menyebar luas. Walau mahal, eradikasi menjadi pilihan di banyak negara yang pernah terserang wabah flu burung seperti Jepang dan Korea. Thailand semula memilih cara vaksinasi unggas, tapi kemudian memutuskan melakukan eradikasi.


“Pilihannya adalah menyelamatkan ekonomi peternakan atau nyawa manusia. Jika menyelamatkan nyawa manusia menjadi fokus kebijakan, eradikasi adalah satu-satunya pilihan, berapapun ongkosnya. Sebab flu burung bisa menular ke manusia,” ujar C.A. Nidom, Ketua Pusat Riset Flu Burung Universitas Airlangga, Surabaya (Juni, 2012) seperti dikutip “Tempo”, Juli 2012.


Di negara-negara yang menerapkan eradikasi, kasus penularan AI terhadap manusia cukup tinggi. Angka kematian manusia akibat AI di seluruh dunia rata-rata mencapai 50-55 persen. Di Indonesia, yang sejak 2005 tercatat lebih dari 189 kasus penularan flu burung pada manusia, kemungkinan kematian mencapai 82 persen akibat manajemen penanganan yang lebih buruk. Tapi sampai saat ini, pemerintah masih memilih vaksinasi ketimbang eradikasi. Pertimbangannya tentu ongkos besar pemusnahan unggas. Direktur Pengendalian Penyakit Bersumber Binatang Kementrian Kesehatan Rita Kusriati menyatakan pemerintah memang belum siap mengambil kebijakan, “Belum ada alasan memilih salah satu, vaksisani saja atau eradikasi.”


Clear and Present Danger Yang Diabaikan

Dibanding jumlah penduduk dan besaran angka ekonomi peternakan, kasus kematian akibat flu burung di Indonesia memang bisa dibilang kecil. Berbagai penolakan pun muncul dari masyarakat terhadap langkah pemusnahan unggas yang potensial menyebarkan wabah AI. Selain pertimbangan ekonomi, faktor yang lebih mendasar sebenarnya kurangnya sosialisasi bahaya AI yang menyebabkan rendahnya awareness masyarakat.


Padahal, selain penelitian Nidom, kabar mengerikan datang dari Yoshihiro Kawaoka, peneliti AI dari Universitas Winconsin, Amerika Serikat dan Ron Fouchier, peneliti dari Pusat Medis Erasmus, Rotterdam, Belanda: AI bisa sewaktu-waktu menjadi wabah bagi manusia! Bagaimana duduk perkaranya?


Ibarat pesawat luar angkasa, virus H5N1 punya semacam modul pendaratan khusus di permukaan selnya yang tersusun dari senyawa gula dan protein yang disebut hemaglutinin. Modul ini hanya bisa “mendarat” di sel N-Asetilneuramini (NANA) pada ikatan alfa-2,3 yang banyak terdapat pada unggas. Manusia punya sel N-Asetilneuramini (NANA) alfa-2,3 sehingga bisa terjangkit flu burung. Tetapi sel itu jumlahnya sedikit dan sulit dijangkau virus karena berada di alveoli paru-paru. Itu sebabnya, walau tetap bisa menular dari unggas ke manusia, perjuangan virus untuk mencapai sel yang bisa diinfeksinya sulit sehingga kasus penularan terhadap manusia sedikit.


Ancaman serius baru muncul andai H5N1 mempunyai modul pendaratan yang sesuai dengan sel NANA alfa 2,6 yang jumlahnya melimpah di tubuh manusia. Modul seperti itu dimiliki virus flu yang biasa menyerang manusia.


Percobaan yang dilakukan Kawaoka dan Fouchier terhadap H5N1 menunjukkan virus flu burung mampu bermutasi sehingga memiliki modul pendaratan yang pas untuk menyerang manusia dan menular dari satu penderita ke penderita lain melalui udara. Untungnya, varian virus flu maut itu baru terbentuk dalam uji laboratorium. Tapi Nidom memperingatkan, “Tanpa eradikasi, virus flu burung akan terus menerus bersirkulasi. Ini sama saja membiarkan virus fu burung “berkoalisi” dengan virus flu manusia di alam bebas dan menghasilkan varian baru seperti yang ditemukan Kawaoka dan Fouchier.”


Kalau kekhawatiran Nidom terbukti, kita harus bersiap-siap berhadapan dengan gerombolan pembunuh massal yang sangat ganas, tak kelihatan ujudnya, jumlahnya tak terhingga, dan belum ditemukan penangkalnya. Virus baru itu akan menjadi clear and present danger yang bisa membunuh jutaan manusia dalam waktu singkat. Dan kita selalu kalah selangkah karena kerap mengabaikan ancaman di depan mata. Untuk menyegarkan ingatan, pada 1918 lebih dari 40 juta nyawa manusia melayang akibat wabah flu yang menyerang Spanyol. [db/dokterkuonline]

Cari di Arsip dokterkuonline:

Baca Artikel Lain:

Join our mailing list

Never miss an update

  • Facebook Social Icon
  • Twitter Social Icon
  • Google+ Social Icon
  • Pinterest Social Icon
  • Instagram Social Icon
bottom of page