KESEHATAN Anda & Polusi Udara Jakarta
Jakarta adalah kota dengan polusi udara tertinggi se Indonesia dan ke tiga di dunia. Kandungan partikel debu di udara Jakarta mencapai 104 mikrogram per meter kubik (tertinggi ke 9 dari 111 kota yang disurvey Bank Dunia pada 2004, sekarang angkanya mungkin melonjak). Padahal, kalau mengacu pada Uni Eropa, ambang batas partikel debu di udara yang bisa ditoleransi hanya 50 mikrogram per meter kubik. 57,8 % warga Jakarta menderita penyakit akibat polusi udara. Biaya kesehatan yang dikeluarkan oleh warga Jakarta untuk mengobati penyakit yang disebabkan oleh pencemaran udara pada 1998 adalah Rp. 1,8 triliun, dengan laju polusi udara yang meningkat drastis sejak 2011, diperkirakan pada 2015 biaya untuk mengobati penderita penyakit akibat polusi udara Jakarta akan mencapai 4,3 triliun!
Polusi Udara Jakarta
Polusi udara disebabkan oleh kontaminasi partikel zat tertentu terhadap udara bebas. Zat polutan biasanya berasal dari sisa pembakaran. Dalam kasus Jakarta, zat buang sisa pembakaran dari mesin kendaraan bermotor menempati urutan tertinggi penyebab polusi udara. “Partikel debu 70% berasal dari kendaraan bermotor, hydrocarbon di udara 90% digelontorkan dari knalpot. Asap industri juga menyumbang polusi, sebagian besar berupa sulfur dioksida,” ungkap Ketua Komisi Penghapusan Bensin Bertimbal, Ahmad Syafrudin.
Grafik tingkat polusi di Jakarta sebenarnya mengalami tren menurun pada periode 2001-2010, tetapi melonjak tajam pada 2010-2011. “Penyebabnya diduga lonjakan penambahan kendaraan bermotor. Sepeda motor saja jumlahnya sekitar 6 juta unit sedangkan kendaraan roda empat sekitar 3 juta unit pada 2011,” ungkap Syafrudin.
Tingginya sumbangan polutan dari kendaraan bermotor selain karena jumlahnya yang luar biasa, juga karena penggunaan kendaraan bermotor di Jakarta relatif lebih lama dibanding kota manapun di dunia akibat kemacetan yang parah. Maka tak heran kalau jumlah hari dengan kualitas tidak sehat di Jakarta semakin meningkat dari tahun ke tahun. Pada 2002, Jakarta dinyatakan sehat selama 22 hari, sedangkan pada tahun 2003, Jakarta dinyatakan sehat hanya selama 7 hari. Penelitian Kelompok Kerja Udara Kaukus Lingkungan Hidup, pada tahun 2004 dan 2005, jumlah hari dengan kualitas udara terburuk di Jakarta jauh di bawah 50 hari. Namun pada tahun 2006, jumlahnya justru naik di atas 51 hari.
Selain polutan dari berbagai sumber, rendahnya kualitas udara Jakarta juga disebabkan kurangnya ruang terbuka hijau (RTH) kota. RTH kota adalah bagian dari ruang-ruang terbuka (open spaces) suatu wilayah perkotaan yang diisi oleh tumbuhan, tanaman, dan vegetasi (endemik, introduksi) guna mendukung manfaat langsung dan/atau tidak langsung yang dihasilkan oleh RTH dalam kota tersebut yaitu keamanan, kenyamanan, kesejahteraan, dan keindahan wilayah perkotaan. RTH berfungsi sebagai bagian dari sistem sirkulasi udara (paru-paru kota), pengatur iklim mikro, peneduh, produsen oksigen, penyerap air hujan, penyedia habitat satwa, penyerap polutan media udara, air dan tanah, serta penahan angin. Kurangnya RTH kota akan mengakibatkan kurangnya kemampuan ekosistem kota untuk menyerap polusi.
RTH akan berfungsi baik jika luasannya ideal, yakni 30% dari luas wilayah kota. Angka tersebut sebenarnya telah diadopsi dan dituangkan dalam Pasal 29 UU Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang. Karena berbagai faktor penghambat, Pemda DKI hanya menetapkan target RTH 13,94% untuk Jakarta, jauh dari kebutuhan ideal. Itu pun pada pelaksanaannya juga tidak memenuhi target karena sampai 2010 Jakarta hanya memiliki RTH seluas 9% dari luas kota.
Dampak Kesehatan
Tingginya polusi udara jelas berdampak negatif terhadap kesehatan. Rumah Sakit Cipto Mangun Kusumo merilis data; 46% penyakit di Jakarta disebabkan oleh polusi udara. Penyakit akibat udara kotor itu umumnya berupa infeksi saluran pernafasan, asma, dan kanker paru-paru.
Badan Kesehatan Dunia (WHO) mensinyalir, pada 2012 tujuh juta orang tewas akibat paparan polusi udara, meningkat lebih dari dua kali lipat dibanding angka pada 2008. Mereka menyatakan satu dari delapan orang di seluruh dunia meninggal karena polusi udara. Yang harus semakin diwaspadai, WHO mengeluarkan data baru yang menunjukkan bahwa orang-orang yang terpapar polusi udara di dalam dan luar ruangan meninggal dini karena penyakit-penyakit kardiovaskular, seperti stroke, penyakit jantung iskemik, penyakit pulmonary kronis dan kanker. Kasus besar kematian akibat polusi udara terjadi di negara-negara berpenghasilan rendah dan menengah di Asia Tenggara dan Pasifik barat.
Penelitian terbaru oleh Environmental Heath Perspectives pada 2013 yang diterbitkan di JAMA Psychiatry menyebutkan polusi udara berkorelasi dengan kerusakan otak, autisme, dan schizophrenia (penyakit kejiwaan). Diperoleh fakta bahwa anak-anak yang hidup di lingkungan dengan tingkat polusi udara tinggi cenderung mengalami penyimpangan perkembangan saraf otak (neurodevelopmental disorder).
Prof. Deborah Cory Slechta dari University of Rochester, mengungkapkan mekanisme biologis yang menjelaskan bagaimana polusi udara mempengaruhi resiko serangan autisme dan schizophrenia. “Selama ini penelitian terhadap dampak polusi udara hanya difokuskan pada masalah cardiopulmonary system, yakni penyakit yang menyangkut jantung dan paru-paru. Tapi penelitian terbaru menunjukkan semakin jelas hubungan paparan polusi udara terhadap penyimpangan perkembangan syaraf otak yang bisa mengakibatkan autisme, sesuatu yang sebelumnya tidak pernah terlintas di pikiran kita,” kata Prof. Cory seperti dikutip foxnews.com.
Mencari Solusi
Berbagai prakarsa, walau tidak langsung, telah diupayakan untuk mengurangi tingkat polusi udara Jakarta. Mengurai kemacetan yang dari tahun ke tahun semakin mengerikan, memberlakukan car free day, optimalisasi angkutan umum massal untuk mengurangi emisi kendaraan, dan menambah RTH, adalah cara-cara yang sudah dan terus dilakukan.
Tetapi laju populasi yang terus meningkat akibat urbanisasi, tingginya tingkat pertambahan kendaraan bermotor yang mencapai 10,9% pertahun, dan pertumbuhan industri, tampaknya jauh lebih masiv dibanding berbagai upaya menekan polusi udara. Selama Jakarta masih menjadi magnet utama kehidupan ekonomi, tampaknya ledakan wabah penyakit akibat polusi udara tinggal menunggu waktu. Bisa jadi, memindahkan Ibu Kota Negara dari Jakarta bisa menjadi wacana menarik untuk ditelaah.
[joko windoro, medical review by dr. Novie Hediyani MKK/dokterkuonline.com]
Sumber:
VOAIndonesia.com; intisari-Online.com; foxnews.com, dan berbagai sumber lain.