top of page

MedicaL Facts:

Plasebo

Obat  “Palsu” Nan Mujarab

Ketika jatuh sakit dan mengunjungi dokter, pernahkah Anda mengira akan mendapat perawatan dan obat-obat palsu yang tidak ada hubungannya dengan penyakit Anda?

Ketika merasa ada sesuatu yang tidak beres dengan dirinya, Bu Maya segera mengambil kesimpulan: saya sakit dan harus segera mendapat pengobatan. Dokter mengajukan berbagai pertanyaan, memeriksa secara fisik, lalu memberi resep obat yang harus diminum. Bu Maya, sebagaimana kebanyakan dari kita, tidak begitu peduli apa sebenarnya yang diresepkan dokter. Ia mengonsumsi obat itu dan mengikuti anjuran-anjuran seperti istirahat cukup, makan teratur, dan sebagainya, dan merasa lebih baik bahkan sembuh total tak lama kemudian.

 

Bu Maya (demikian juga kebanyakan dari kita) percaya sepenuhnya, dan berharap dengan memeriksakan diri ke dokter dan meminum obat yang diresepkan, penyakit akan teratasi. Dan kenyataannya, itulah yang terjadi. Tapi bagaimana jika ternyata obat yang kita minum sebenarnya tidak berhubungan sama sekali dengan penyakit yang kita sangka kita derita? Bagaimana kalau dokter ternyata hanya memberikan “obat palsu” berupa vitamin atau sekadar gula berbentuk pil? Kalau yang diberikan ternyata obat palsu, mengapa terbukti manjur?

 

Mengenal Efek Plasebo

Dalam kasus Bu Maya, dan banyak sekali kasus serupa, dokter sering menjumpai sebenarnya tidak ada gangguan apapun pada diri pasien yang datang dan mengeluhkan ini itu. Gangguan kesehatan yang dikeluhkannya lebih banyak bersumber pada kondisi psikologis sehingga disebut gejala psikosomatis. Pada beberapa kasus, dokter mengetahui, sebenarnya keluhan pasien akan hilang hanya dengan memberi waktu untuk istirahat yang cukup dan membaiknya kondisi psikologi pasien. Tetapi si pasien terlanjur yakin bahwa ia menderita suatu penyakit yang hanya akan sembuh jika sudah mendapat tindakan medis, dan memaksa dokter melakukannya.

 

Dalam kasus seperti ini, dokter biasanya memberikan obat, injeksi, atau tindakan medis apapun yang sebenarnya tidak terkait langsung dengan penyakit si pasien karena memang dokter tidak menemukan penyakit apapun. Dalam meresepkan obat misalnya, bisa jadi dokter hanya memberikan tablet vitamin atau gula kepada si pasien. Si pasien merasa senang dan penyakitnya menghilang. Ajaib?

 

Contoh lain, seorang pasien kecelakaan yang menderita fraktur (patah tulang) ringan telah mendapat perawatan, tetapi ia tidak puas dan mengunjungi dokter lain. Setelah diperiksa, dokter menyimpulkan pasien telah mendapat perawatan cukup dan lukanya yang tidak terlalu parah akan sembuh seiring waktu. Yang dibutuhkan hanyalah kesabaran dan istirahat yang cukup. Tapi si pasien yang sangat ketakutan dan merasa tertekan memaksa dokter melakukan tindakan medis. Karena dokter menilai obat yang diterima si pasien dalam perawatan sebelumnya sudah memadahi, ia pun meresepkan antidepressan untuk menenangkan si pasien. Si sakit pun puas, ia mengonsumsi antidepressan, merasa tenang dan yakin luka frakturnya akan segera baik-baik saja. Dan itulah yang terjadi. Tapi siapapun tahu, antidepressan tidak ada hubungannya sama sekali dengan patah tulang bukan?

 

Dalam dunia medis, kondisi psikologis pasien diyakini berpengaruh besar terhadap proses penyembuhan. Keyakinan yang kuat terhadap khasiat obat atau terapi tertentu akan berpengaruh terhadap efektifitas kerja obat/terapi. Inilah yang dinamakan placebo effect (efek plasebo). Plasebo bisa dideskripsikan sebagai tindakan medis atau pemberian obat-obatan yang tidak terkait langsung secara klinis terhadap penyakit yang diderita pasien namun menumbuhkan “situasi positif” secara psikologis kepada pasien sehingga mekanisme dalam tubuh terkondisikan untuk proses penyembuhan. Setelah mendapatkan injeksi atau resep obat tertentu, dokter biasanya berkata sambil tersenyum menenangkan pasien, “Jangan khawatir, Anda akan segera sembuh.” Bahkan ucapan yang memberikan ketenangan pada pasien seperti itu bisa dikategorikan sebagai plasebo.

 

Plasebo telah digunakan oleh dokter selama berabad-abad. Berbagai penelitian yang dilakukan kemudian menunjukkan korelasi plasebo terhadap kondisi psikologis pasien yang mendukung proses penyembuhan. Dengan fakta seperti ini, pengobatan plasebo yang dilakukan dokter bisa diterima oleh sebagian besar masyarakat walau ada juga yang menganggapnya sebagai tindakan yang cukup berbahaya, tidak etis, bahkan ilegal.

Referensi artikel:

Teori Plasebo:

Semua Berasal dari Dalam Kepala Anda?

Para peneliti telah sejak lama mencoba menemukan teori yang mendukung efek plasebo. Tapi berbagai teori yang muncul bisa dikatakan memiliki kesamaan dengan deskripsi plasebo yang telah diuraikan sebelumnya.

 

Pada 2002 eksperimen dilakukan di The UCLA Neuropsychiatric Institute; dua kelompok pasien mendapat resep  antidepressan, sementara kelompok ke tiga diberi plasebo. Setelah beberapa minggu, aktivitas otak setiap kelompok diteliti  dan diukur menggunakan electroencephalography (EEG). Kelompok pasien yang mendapat plasebo dan dilaporkan tidak mengalami efek samping, menunjukkan peningkatan aktivitas otak pada bagian preforontal cotex yang lebih baik dibanding kelompok yang

mendapat antidepressan.  Hasil eksperimen yang mengejutkan ini  menunjukkan bahwa otak pun “tertipu” oleh plasebo karena ternyata otak memberikan respon yang berbeda terhadap obat beneran dan plasebo.

 

Beberapa penelitian selanjutnya semakin menunjukkan korelasi plasebo dengan aktivitas otak untuk mengurangi rasa sakit. Salah satu yang cukup mengguncang adalah penelitian pada 2004 yang dilakukan di University of Michigan. Penelitian menunjukkan bahwa plasebo berhubungan dengan prosuksi endhorpin, zat yang diproduksi otak untuk meredakan rasa sakit dan menimbulkan rasa nyaman.

 

Penelitian dilakukan dengan cara memberikan injeksi sejenis cairan yang menimbulkan rasa sakit tetapi tidak berbahaya kepada beberapa orang subyek percobaan. Tingkat rasa sakit dijaga tetap konstan pada level tertentu dengan mewawancarai subyek dan menambah atau mengurangi dosis obat. Sementara itu, aktivitas subyek dipindai dengan PET scanner. Kemudian subyek diberi tahu akan diberi injeksi obat penghilang rasa sakit yang sebenarnya adalah plasebo. Hasilnya, seluruh subyek penelitian merasakan berkurangnya rasa sakit setelah disuntik plasebo. Pemindaian menunjukkan perubahan aktivitas otak pada bagian opioid receptors (yang menerima/mencerna endorphin) dan area di sekitarnya yang berhubungan dengan respon terhadap rasa sakit. Disimpulkan, harapan kuat terhadap obat penghilang rasa sakit menyebabkan bagian otak yang berhubungan dengan respon terhadap rasa sakit mulai bekerja.

 

Penelitian-penelitian selanjutnya menunjukkan plasebo tidak hanya berpengaruh terhadap aktivitas otak, plasebo juga diketahui mampu membuat otot dan syaraf menjadi rileks yang berpengaruh terhadap berkurangnya rasa sakit dan gejala-gejala sakit. Jadi, walau sebagian besar efek plasebo bermuasal dari aktivitas otak kita sendiri yang "dibohongi", tapi dampaknya pada sistem fisik jelas terlihat sehingga plasebo tidak bisa dikatakan murni masalah psikologis.

 

Penggunaan Plasebo

Meski  telah dipraktikkan sejak lama, plasebo jarang dibicarakan. Tetapi studi mutakhir mulai dilakukan untuk mengetahui efek plasebo secara klinis. Sekelompok  mahasiswa kedokteran di University of Chicago  pada 2007 melakukan penelitian yang menunjukkan 45% dokter di wilayah Chicago menggunakan plasebo untuk sebagian kasus yang ditangani. Responden menyatakan plasebo benar-benar memiliki efek penyembuhan. Studi lain yang dilakukan pada 2008 menunjukkan hampir separoh dari 600 dokter responden di Amerika mengaku meresepkan plasebo.

 

Seringnya, dokter meresepkan plasebo karena alasan tidak ditemukannya sumber gejala penyakit yang dikeluhkan pasien, pasien tidak bisa mengonsumsi obat yang dibutuhkan karena efek samping yang justru membahayakan, atau alasan lain. Sebagai contoh, seorang pasien sering mengeluhkan gejala kelelahan akut (fatigue), tapi dokter tidak menemukan penyebab keluhan itu sehingga menyarankan pasien untuk mengonsumsi vitamin saja.

 

Perlakuan ini diungkapkan Dr. Danielle Ofri, ketika mengikuti survey tahun 2008 itu. Ia mengatakan, “Vitamin yang saya berikan bekerja dengan baik pada beberapa pasien yang saya tangani, dan tidak ada efek yang tidak dikehendaki.” Tapi secara umum harus dijelaskan, walau mengonsumsi vitamin pada dasarnya menguntungkan pasien, belum ditemukan bukti yang kuat bahwa vitamin bisa menyembuhkan suatu penyakit secara langsung, termasuk fatigue.

 

Alasan lain, kadang pasien memaksa dokter untuk memberikan obat jenis tertentu yang diyakini bakal menyembuhkan penyakitnya. Dokter yang mengetahui bahwa permintaan pasien tidak benar dan memberikan plasebo biasanya beralasan bahwa tidak memberikan pada pasien “apa yang dia minta” (walaupun yang diberikan sebenarnya plasebo) justru akan memperburuk keadaan si pasien. Contoh yang lazim adalah pasien flu akibat virus yang memaksa dokter memberinya antibiotik.

 

Ada dua macam flu, yakni yang disebabkan oleh bakteri dan disebabkan virus. Flu akibat paparan bakteri memang pengobatannya dengan antibiotik, tetapi antibiotik tidak bisa membunuh virus. Nah, ketika pasien flu virus memaksa dokter memberikan antibioti karena si pasien tidak paham, dalam kasus seperti ini dokter  bisa saja memberikan antibiotik untuk berjaga-jaga terhadap kontaminasi bakteri, tentu saja setelah dokter memastikan tidak ada efek samping atau kontra indikasi yang merugikan pasien. Jika pasien ternyata lebih baik tidak mengonsumsi antibiotik, dokter akan memberikan plasebo agar si pasien merasa tenang dan -tentu saja- lebih menggembirakan jika efek plasebo bekerja karena biasanya flu akibat virus akan hilang dengan sendirinya seiring membaiknya kondisi tubuh.

 

Perlu diketahui bahwa tidak semua plasebo adalah “obat plasu” (pil gula). Merujuk pada beberapa survei yang telah dilakukan, plasebo lebih umum berupa vitamin atau pereda sakit semisal aspirin. Plasebo bisa juga berupa antibiotik atau sedatif, semua tergantung sikon pasien yang diperiksa dokter. Tetapi penggunaan antibiotik atau sedatif sebagai plasebo memunculkan banyak penentangan karena kandungan zat aktif yang bisa menimbulkan dampak samping merugikan. Contoh paling umum adalah pemberian antibiotik yang sebenarnya tidak dibutuhkan bisa menimbulkan kekebalan bakteri terhadap jenis sntibiotik yang diberikan. (Untuk mengetahui lebih jauh, silakan baca artikel dokterkuonline mengenai antibiotik dan sedatif).

 

Kontroversi

Walau plasebo terbukti “berdampak baik”, tetap saja ia digolongkan sebagai obat atau tindakan medis palsu sehingga penggunaannya menimbulkan kontroversi. Pada 2006, Asosiasi Medis Amerika (AMA) membuat peraturan-peraturan yang berkait dengan plasebo. Salah satu aturan menyebutkan, "Psikiater boleh menggunakan plasebo untuk melakukan diagnosa atau terapi/pengobatan hanya jika pasien diberitahu dan setuju menggunakan plasebo”. Peraturan ini menimbulkan kritik keras karena kalangan medis tentu mahfum bahwa penggunaan plasebo tidak efektif jika pasien mengetahuinya. Di sisi lain, muncul kekhawatiran jika penggunaan plasebo ternyata didasarkan pada diagnosa yang keliru dan menimbulkan dampak negatif terhadap pasien. Dalam kasus seperti ini penggunaan plasebo tanpa sepengetahuan dan persetujuan pasien bisa dikategorikan mal praktik.

 

Maka, jalan tengah untuk “menyiasati” aturan AMA agar efek plasebo tidak hilang tetapi pasien memperoleh informasi yang cukup pun dilakukan. Tenaga medis yang mendukung penggunaan plasebo biasanya memberitahu pasien bahwa ia memiliki sesuatu yang kemungkinan bisa menjadi obat yang efektif untuk mengobati pasien, tetapi dokter itu sendiri belum mengetahui benar bagaimana cara kerja “obat” itu. Cara ini disetujui AMA asal dokter juga menjelaskan efek plasebo kepada pasien dan mendapat persetujuan pasien untuk menggunakan “obat” yang kandungannya tetap dirahasiakan tersebut sehingga dengan “kerahasiaannya” efek plasebo tetap bisa bekerja.

 

Masalah lain terkait plasebo adalah fakta yang menunjukkan bahwa plasebo belum terbukti bisa efektif terhadap seluruh pasien, angkanya berkisar antara 30% - 40% pengguna plasebo yang mendapat kesembuhan dari seluruh pengguna plasebo. Jika dokter menggunakan plasebo dan ternyata tidak efektif, dokter dan pasien akan kembali ke titik awal lagi untuk menemukan solusi lain, dari sudut pandang waktu tentu ini sangat merugikan. Plasebo juga diketahui hanya bekerja pada  jangka pendek sehingga biasanya tidak efektif untuk kasus-kasus kronis.

 

Di negara-negara maju, perdebatan masih terus berlanjut antara pendukung dan penentang penggunaan plasebo. Para pendukung penggunaan plasebo mengklaim bahwa plasebo merupakan jalan untuk memahami secara medis fenomena-fenomena seperti “Self Healing” (penyembuhan oleh tubuh sendiri), “Mind – Body Medicine” (pengobatan dengan kekuatan pikiran dan tubuh), atau "Integrated Healing" (penyembuhan terintegrasi) yang banyak berkembang di masyarakat.

 

Di Indonesia yang masyarakatnya kebanyakan masih jauh dari status “melek kesehatan”, praktik-praktik pengobatan alternatif yang “tidak masuk akal” seperti itu masih sangat banyak dan telah berurat berakar. Meminum air putih yang telah “dibaca-bacai” oleh sesepuh masyarakat atau “orang pintar” untuk mengobati demam misalnya,  masih sangat sering kita jumpai. Bisa jadi metoda pengobatan seperti itu memberi dampak positif bagi si anak, dan kita bisa menduganya sebagai akibat efek plasebo. Tetapi sebaiknya kunjungi dokter Anda untuk semua keluhan kesehatan. Kalau toh suatu saat Anda menjalani pengobatan dengan plasebo, hal itu jauh lebih baik karena kondisi fisik Anda lebih terpantau jika yang melakukannya adalah dokter.

 

  • joko windoro/dokterkuonline.com  Medical review by dr. Novie Hediyani

bottom of page